Jumat, 21 Agustus 2020

Tujuan Pemidanaan

 Pasal 55 RUU KUHP

Pemidanaan bertujuan:

a.        mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;

b.        memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;

c.   menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan

d.        menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

 

Rabu, 19 Agustus 2020

Kendala-kendala yang dihadapi dalam Penanganan Kasus Korupsi

 

Peran Serta Masyarakat

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 41 ayat (5) menyatakan bahwa Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korup. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam peraturan diwujudkan dalam bentuk[1] :

a)    hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

b)    hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

c)    hak menyampaikan saran dan pendapat serta bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

d)    hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e)    hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam :

(1)   melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a) b) dan c);

(2)   diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3)   masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Adapun dalam Pasal 42 ayat (5) menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan peran serta masyarak dan pemeberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu diatur dengan peraturan pemerintah. Peran serta masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana korupsi. Di samping itu, dengan peran serta tersebut masyarakat akan lebih bergairah untuk melaksanakan kontrol sosial tindak pidana korupsi.

Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk antara lain mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi yang memberikan hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka dalam peraturan pemerintah ini diatur mengenai hak dan tanggung jawab masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, kebebasan menggunakan hak tersebut haruslah disertai dengan tanggung jawab untuk mengemukakan fakta dan kejadian yang sebenarnya dengan menaati dan menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum serta hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peraturan pemerintah ini juga mengatur mengenai kewajiban pejabat yang berwenang atau komisi untuk memberikan jawaban atau menolak memberikan isi informasi, saran atau pendapat dari setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat.

Sebaliknya, masyarakat berhak menyampaikan keluhan, saran, atau kritik tentang upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengalaman dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa keluhan, saran, atau kritik masyarkat tersebut sering ditanggapi dengan baik dan benar oleh pejabat yang berwenanga.

Dengan demikian, dalam rangka mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, pejabat yang berwenang atau Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diwajibkan untuk memberikan jawaban atau keterangan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Kewajiban tersebut diimbangi pula dengan kesempatan pejabat yang berwenang atau Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi menggunakan hak jawab berupa bantahan terhadap informasi yang tidak benar dari masyarakat.

Di samping itu, untuk memberikan motivasi yang tinggi kepada masyarakat, maka dalam peraturan pemerintah ini diatur pula pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi berupa piagam dan/atau premi.



[1]. Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi, Cetakan Keempat, September 2015, Penerbit Sinar Grafika, hlm 150.

Faktor-faktor penyebab Korupsi

 Faktor Penyebab Korupsi[1]

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :

a.    Lemahnya pendidikan agama dan etika.

b.    Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

c.    Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannyaa sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.

d.    kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.

e.    Tidak adanya sanksi yang keras.

f.     Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi.

g.    Struktur pemerintahan.

h.    Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.

i.     Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.

 

Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para peminpin masyarakat. Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. Beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah :

1)    Keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spritual serta kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi;

2)    administrasi yang efesien serta penyesuaian struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintahan sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi;

3)    kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;

4)    berfungsinya suatu sistem yang anti korupsi;

5)    kepeminpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi.

 

 



[1].  Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, cetakan kelima Oktober 2018, Sinar Grafika, halaman 11-12.

Delik Formil dan materil dalam KUHP

 Perbedaan delik formil dan delik materil

“Pada delik formil, yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya pasal: 160 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penghasutan, 209 KUHP tentang penyuapan, 242 KUHP tentang sumpah palsu, 362 KUHP tentang pencurian. Pada pencurian misalnya, asal saja sudah dipenuhi unsur-unsur dalam pasal 362 KUHP, tindak pidana sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa rugi atau tidak, merasa terancam kehidupannya atau tidak. Sedangkan delik material selain dari pada tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya (voltooid). Misalnya: pasal 187 KUHP tentang pembakaran dan sebagainya, 338 KUHP tentang pembunuhan, 378 KUHP tentang  penipuan, harus timbul akibat-akibat secara berurutan kebakaran, matinya si korban, pemberian sesuatu barang.”

 

 

 

Delik formil

Delik formil adalah

Delik formal ialah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Pasal 160 : tentang Penghasutan

Pasal 209 : tentang Penyuapan

Pasal 242 : tentang Sumpah Palsu

Pasal 363 : tentang Pencurian

 

Delik Materil

Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Pasal 187 : tentang Pembakaran

Pasal 338 : tentang Pembunuhan

Pasal 378 : tentang Penipuan

 

Ciri-ciri Korupsi

 Ciri-ciri Korupsi[1]

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut.

a.    Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud). Contohnya adalah belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun, di sini seringkali ada pengertian diam-diam di antara pejabat yang mempraktikkan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan meningkatkan frekudiensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah dilakukan oleh para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemik di masyarakat.    

b.    Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada didalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.

c.    korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

d.    Mereka mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

e.    Mereka terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f.     Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

g.    Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan.

 

 

 



[1].  Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, cetakan kelima Oktober 2018, Sinar Grafika, halaman 10-11.

Cara merumuskan tindak pidana

 

Unsur-Unsur Tindak Pidana[1]

Buku II dan Buku III KUHP berisi tentang rumusan tindak pidana–tindak pidana tertentu. Tentang bagaimana cara pembentuk undang-undang dalam merumuskan tindak pidana itu pada kenyataannya memang tidak seragam.

Dalam hal ini akan dilihat dari tiga dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP kita.

1.    Cara Pencantuman Unsur-unsur dan Kualifikasi Tindak Pidana

Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada tiga cara perumumusan, yaitu :

a.     dengan mencamtumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana;

b.    dengan mencamtumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan mencamtumkan ancaman pidana;

c.     sekadar mencamtumkan kualifikasinya saja tanpa unsur-unsur dan mencamtumkan ancaman pidana.

 

Tampak yang sebenarnya bahwa dari ketiga cara tersebut, ada tindak pidana yang dirumuskan tanpa menyebut unsur-unsur dan banyak yang tidak menyebut kualifikasi. Ancaman pidana selalu disebut dalam rumusan. Ancaman pidana dan kualifikasi memang bukan unsur tindak pidana. Kualifikasi dicantumkan sekadar untuk menggampangkan penyebutan terhadap pengertian tindak pidana yang dimaksudkan. Sementara itu, mengenai selalu dicantumkannya ancaman pidana dalam rumusan karena ancaman pidana ini merupakan ciri mutlak dari suatu larangan perbuatan sebagai tindak pidana dan yang membedakan dengan larangan perbuatan yang bukan tindak pidana atau diluar hukum pidana.

 

 

a.    Mencamtumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaman Pidana

Cara yang pertama ini merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini digunakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standar, dengan mencamtumkan unsur-unsur objektif maupun unsur subjektif, misalnya Pasal 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pengancaman), 369 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 (perusakan).

Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk standar di atas, juga ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian dengan kualifikasi tertentu. Misalnya pemberontakan (108).

Unsur pokok atau unsur esensial adalah unsur yang membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu itu. Unsur-unsur ini dapat dirinci sejak jelas, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan menjatuhkan pidana, semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan.

Dalam unsur pokok tindak pidana tersebut di atas terdapat unsur objektif maupun subjektif secara lengkap, contohnya Pasal 368 yang diberi kualifikasi pemerasan, terdapat unsur-unsur sebagai berikut.

1)    Unsur Objektif, terdiri :

a)  memaksa (tingkah laku);

b)  seseorang (yang dipaksa);

c)  dengan : (1) kekerasan

(2) ancaman kekerasan;

d) agar orang :   (1) menyerahkan benda.

                          (2) memberi utang;

                          (3) menghapuskan piutang.

2)    Unsur Subjektif, berupa :

e)  dengan maksud untuk menguntungkan :

(1)   diri sendiri, atau

(2)   orang lain.

f)  dengan melawan hukum

Kekerasan dan ancaman kekerasan adalah cara atau upaya dalam melakukan perbuatan memaksa. Sementara itu, (a) menyerahkan benda; (b) memberi utang; dan (c) menghapus piutang unsur akibat (akibat konstitutif) yang dituju perbuatan atau yang diinginkan petindak, yang harus terwujud untuk terjadinya pemerasan secara sempurna.

 

b.    Mencamtumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualifikasi dan Mencamtumkan Ancaman Pidana

Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualifikasi dalam praktik kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 diberi kualifikasi sumpah palsu, stellionaat (385), penghasutan (160), laporan palsu (220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negeri (415).



[1].  Adami Chazawi, 2014, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan Ke-8, Jakarta,  halaman 115.

Kewenangan Polri untuk Penyidikan

Kewenangan Polri[1]

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 14 huruf g ditegaskan “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.”

Wewenang kepolisian dalam proses pidana (Pasal 16) :

Huruf a    :  melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

Huruf b    :  melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

Huruf c    :  membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

Huruf d    :  menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

Huruf e    :  melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

Huruf f    :  memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

Huruf g    :  mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

Huruf h    :  mengadakan penghentian penyidikan;

Huruf i     :  menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum

 

 



[1].  M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua, cetakan kesebelas desember 2009, Sinar Grafika, halaman 101.

Selasa, 18 Agustus 2020

Pembagian Peristiwa Pidana

Hukum pidana Belanda dikuasai oleh peristiwa-peristiwa pidana dalam kejahatan dan pelanggaran. Maksudnya ialah pembagian yang prinsipil, yang ditegaskan dalam memorie Van Toelicting

Minggu, 02 Agustus 2020

Pertanggungjawaban Pidana

W.P.J. Pompe mengatakan "....bahwa tidak ada pidana yang diterapkan, kecuali suatu kelakuan yang melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicela. Menurut hukum kita tidak ada kesalahan tanpa melawan hukum, teori ini kemudian diformulasikan sebagai : tiada pidana tanpa kesalahan atau geen straf zonder schuld (Jerman) atau actus reus mens rea (Latin). Asas ini merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana dan tidak ditemukan dalam undang-undang. Ada postulat lain yang berbunyi nemo punitur sine injuria, facto, seu defalta. Artinya, tidak ada seorangpun yang dihukum kecuali ia telah berbuat salah.  

Pertanggung Jawaban Pidana[1]

Menurut Hanafi sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali mengatakan bahwa Dalam hukum konsep libility atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam Bahasa Ingris, doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guality (sich!), unless the mind is legally blameworthy. Di dalam doktrin itu, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/tindak pidana (actus reus)dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).[2] 

Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, Mardjono dalam catatan kaki (nya), di buku “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia” menjelaskan bahwa :

“Dalam perkembangan pendidikan ilmu hukum pidana di Indonesia terdapat dua aliran. Yang pertama berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana (unsur subyektif, terdapat pada pelaku) melekat pada perbuatan melawan hukumnya (unsur obyektif), sedangkan yang kedua memisahkannya. Di Indonesia aliran pertama (monistis) dianut Prof. Satochid Kartanegara, Guru Besar Hukum Pidana di UI, PTIK, dan PTHM. Aliran kedua (dualistis) ini dijelaskan dalam Muladi dan Dwidja Priyatno”.[3]

Masalah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana menjadi sorotan para pakar terutama dalam menerapkan asas kesalahan. Mengenai hal ini dapat dilihat dari pendapat Hans Kelsen, sebagai berikut :

“… jika dimungkinkan untuk menuduhkan suatu tindakan fisik yang dilakukan oleh seorang manusia kepada badan hukum walau badan hukum itu tidak mempunyai fisik, maka mesti dimungkinkan untuk menuduhkan tindakan-tindakan fisik kepada badan hukum itu tidak mempunyai jiwa. Jika hukum memberikan sanksi pidana terhadap badan hukum hanya dibawah kondisi bahwa organnya telah bertindak dengan sengaja dan dengan itikad jahat, maka sangat mungkin untuk menyatakan bahwa badan hukum mesti mempunyai perasaan bersalah untuk dapat dihukum. Tuduhan kepada badan hukum adalah suatu konstruksi hukum, buka deskripsi tentang realitas alami. Karena itu tidak perlu usaha sia-sia untuk membuktikan bahwa badan hukum adalah makhluk nyata, yakni buka suatu fiksi hukum, untuk membuktikan bahwa delik dan khususnya kejahatan dapat dituduhkan kepada badan hukum”.[4]  

Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana, ternyata terdapat dua pandangan, yaitu pandangan yang monistis antara lain dikemukan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai “Eene strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar person” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya). Menurut aliran monism, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat, yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit, adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.[5]

Oleh karena itu, penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi :

a.   Kemampuan bertanggung jawab.

b.   Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan.

c.   Tidak ada alasan pemaaf.[6]

Sementara pandangan dualistis pertamakali dianut oleh Herman Kontorowicz dimana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang ketika itu berkuasa, yang beliau dinamakan “objective schuld”, oleh karena kesalahan disitu dinamakan “objective schuld”, oleh karena kesalahan disitu dipandang sebagai sifat dari kelakuan (merkmal der handlung). Untuk adanya strafvoraussetzungen (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.[7]

Pertanggungjawaban Pidana[8]

Di samping unsur perbuatannya, maka unsur yang mutlak harus ada yang akan bisa mengakibatkan dimintakannya pertanggungjawaban pidana dari si pelaku tindak pidana adalah unsur kesalahan. Untuk bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana, maka unsur kesalahan, yang mutlak ditemukan itu, sangat terkait dengan elemen mental dari pembuatnya, yang dalam dogma sistem common law dinamakan mens rea, di mana unsur kesalahan ini harus ada bersamaan dengan perbuatan seseorang dalam melakukan tindak pidananya, yang disebut actus reus.[9]

Pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh sesorang itu adalah untuk menentukan kesalahan dari tindak pidana yang dilakukannya. Pertangungjawaban pidana atau criminal liability[10] artinya adalah bahwa orang yang telah melakukan suatu tindak pidana itu, belum berarti ia harus dipidana, melainkan ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah dilakukan, jika ditemukan unsur kesalahan padanya,[11] karena suatu tindak pidana itu terdiri atas dua unsur, a criminal act (actus reus) dan a criminal intent (mens rea).[12]

Actus reus atau quilty act dan mens rea atau quilty mind ini harus ada untuk bisa dimintakannya pertanggungjawaban pidana. Kedua unsur itu, actus reus dan mens rea, atau yang disebut juga conduct elements dan fault elements tersebut, harus dipenuhi untuk menuntut adanya tanggung jawab pidana.[13]  Pertanggungjawaban pidana itu hanya dapat terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan suatu tindak pidana. [14] tidak akan ada pertanggungjawaban pidana, jika tidak didahului dengan dilakukannya suatu tindak pidana. Dengan demikian, tindak pidana itu dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana, atau dipisahkan dari unsur kesalahan.[15] Pengecualian prinsip actus reus dan mens rea ini adalah hanya pada delik-delik yang bersifat strict liability, di mana pada tindak pidana yang demikian itu adanya unsur kesalahan atau mens rea tidak perlu dibuktikan.[16]

Menurut Raplh C. Hoeber, et al., untuk bisa dipertanggungjawabkan secara pidana kepada seseorang atas suatu delik, harus dipenuhi tiga unsur sebagai berikut :

1.    A socially blameworthy act. To constitute a crime somthing must be done which the law forbids. Or there must be a failure to do something the law requires. A criminal act must be some physical act or breach of legal duty.

(Tindakan yang bisa disalahkan secara sosial. Untuk membentuk suatu kejahatan harus dilakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum. Atau harus ada kegagalan untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh hukum. Tindak pidana harus berupa tindakan fisik atau pelanggaran kewajiban hukum). 

2.    Committed by a mentally competent person. To be guilty of a crime a person must have the mental capacity (i) to understand the nature of his or her act, and (ii) to understand that the act is wrongful.

(Dilakukan oleh orang yang kompeten secara mental. Untuk menjadi bersalah atas kejahatan seseorang harus memiliki kapasitas mental (i) untuk memahami sifat tindakannya, dan (ii) untuk memahami bahwa tindakan itu salah).

3.    With the requisite intent. To establish that an offense has been committed, it must be proved that in the act (or omission) the perpetrator had an evil purpose or blameworthy or person endangering state of mind, identified by such worth as ‘knowingly’, ‘wrongfully’, ‘corruply’, willfully’, ‘fraudulently’, ‘maliciously’, ‘feloniously’, ‘negligently’, or ‘wantonly’. 

(Dengan niat yang disyaratkan. Untuk menetapkan bahwa suatu pelanggaran telah dilakukan, harus dibuktikan bahwa dalam tindakan (atau kelalaian) pelaku memiliki tujuan jahat atau tercela atau orang yang membahayakan keadaan pikiran, diidentifikasi dengan nilai seperti 'diketahui', 'salah', ' rusak ', disengaja', 'curang', 'jahat', 'jahat', 'lalai', atau 'ceroboh'.)

 

Dengan demikian, dalam hal pertanggungjawaban pidana ini, maka seseorang hanya dapat dibebani tanggung jawab pidana bukan hanya dikarenakan dia telah melakukan suatu perbuatan  yang dilarang atau melanggar kewajiban yang dipersyaratkan oleh undang-undang, yang harus dibuktikan oleh penuntut umum di muka persidangan, akan tetapi juga bahwa saat perbuatan itu dilakukan, pelakunya harus memiliki mens rea[17]atau sikap kalbu.[18] Hal ini merupakan salah satu ciri dari hampir semua sistem hukum, di mana pertanggung jawab pelaku terhadap tindak pidana yang telah dilakukannya selalu dikaitan pada keadaan-keadaan tertentu dari mentalnya.[19]

 

Actus reus atau guilty act menurut Black’s Law Ditionary adalah :[20]

“The wrongfull deed that comprises the physical components of a crime and that generally must be couple with mens rea to establish criminal liability; a forbidden act.”

Adapun mens rea atau gualty mind diartikan oleh Black

 

DEFENISI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA[21]

Van Hamel tidak memberikan definisi pertanggungjawaban pidana, melainkan memberikan pengertian mengenai pertanggungjawaban. Secara lengkap Van Hamel menyatakan :

Toekeningsvatbaarheid..... een staat van psyhische normaliteit en rijpheid welke drieergeschiktheid medebrengt : 1) die om feitelijke streking der eigen handelingen te begrijpen; 2) die om het maatshappelijk ongeoorloofde van die handelingen te beseffen; 3) maatschappelijk ongeoorloofde van die handelingen te beseffen; 3) die om te annzien van die handelingen den wil bepalen.[22]

(Pertanggungjawaban adalah suatu tindakan normal psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan, yaitu : 1) mampu untuk dapat mengerti makna serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri; 2) mampu untuk menginsafkan bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat; 3) mampu untuk menentukan kehendak berbuat)

Eddy O.S. Hiariej mengatakan Perlu penjelasan lebih lanjut terkait tiga kemampuan Van Hamel adalah perihal kehendak berbuat. Bila dikaitkan antara kehendak berbuat dengan kesalahan sebagai elemen terpenting dari pertanggungjawaban, maka terdapat tiga pendapat. Pertama, identitas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dalam bertindak. Bila tidak ada kebebasan kehendak, maka tidak ada kesalahan. Dengan demikian tidak ada pencelaan sehingga tidak ada pemidanaan.[23]

Kedua, determinis yang menyatakan bahwa manusia tidak punya kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dan motif yang mendapat ransangan dari dalam maupun dari luar. Artinya, seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah karena tidak punya kehendak bebas. Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tidak adanya kebebasan kehendak tersebut justru menimbulkan pertanggungjawaban seseorang atas pebuatannya. Namun, reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan berupa tindakan untuk ketertiban masyarakat dan bukan pidana dalam arti penderitaan. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa kesalahan tidak ada kaitannya dengan kehendak bebas. Tegasnya, kebebasan kehendak merupakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kesalahan dalam hukum pidana.[24]

Definisi mengenai pertanggungjawaban pidana dikemukakan oleh Simons sebagai suatu keadaan psikis, sehingga penerapan suatu ketentuan pidana dari sudut pandang umum dan pribadi dianggap patut (De toerekeningsvatbaarheid kan worden opgevat als eene zoodanige psyhische gesteldheid, waarbij detoepassing van een strafmaatregel van algemeen en individueel standpunt gerechtvaardig is)[25].

 



[1].  Rinto Wardana, Tanggung Jawab Pidana Kontraktor atas kegagalan Bangunan “ Menerobos dominasi Maxim Societas/Universitas Delinquere non Potest, diterbitkan oleh Media Nusantara, cetakan I, November 2016, halaman 35.

[2]. Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 3

[3]. Mardjono, Tindak Pidana Korporasi dan pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia, Jakarta, : Pidato Dies Natalis ke-47 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 17 Juni 1983.                              

[4]. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Diterjemahkan oleh : Raisul Muttaqien, Bandung, Nusamedia, 2014, hlm 77. 

[5]. Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana, 2012, hlm 63.

[6]. A.Z Abidin dalam Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana, 2012, hlm 63. 

[7]. Ibid.,hlm 66.

[8]. Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, cetakan ke-1, April 2015, Penerbit PT. Kharisma Putra Utama.

 

[9]. Zoltan Andras Nagy.

[10]. R.A. Duff  

[11]. Suharto R.M., Hukum Pidana Material; Unsur-Unsur Obyektif sebagai Dasar Dakwaan, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm 106.

[12]. Lihat juga Robert W. Emerson

[13].  Robert R.A. Duff

[14]. Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Kencana, 2006, hlm 20.

[15]. Moeljatno

[16]. Lihat Roger Geary,

[17]. Lihat Paul Dobson

[18]. Sutan Remi Sjahdenini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta; Grafiti Pers, 2006) hlm 37.

[19]. Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982), hlm 20.  

[20]. Bryan A. Garner

[21].  Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 155.

[22]. G.A. Van Hamel, 1913, Inleing Tot De Van Het Nederlansche Strafrecht, Derde Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante’s-Gravenhage. Hlm 387. Dalam  Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 155.

 [23].  Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 155.

[24]. Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.hlm 87dalam  Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 156.

 [25]. D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafecht, Eerste Deel, Zesde Druk, P. Noordhoof, N.V.-Groningen-Batavia. Hlm 194. Dalam Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 156.


Sesuatu baru bisa disebut Fakta

  JOSEPH RAZ Menyampaikan : Facts are everything that can be designated by what followa after “the fact that...’. Sesuatu baru bisa di...