W.P.J. Pompe mengatakan "....bahwa tidak ada pidana yang diterapkan, kecuali suatu kelakuan yang melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicela. Menurut hukum kita tidak ada kesalahan tanpa melawan hukum, teori ini kemudian diformulasikan sebagai : tiada pidana tanpa kesalahan atau geen straf zonder schuld (Jerman) atau actus reus mens rea (Latin). Asas ini merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana dan tidak ditemukan dalam undang-undang. Ada postulat lain yang berbunyi nemo punitur sine injuria, facto, seu defalta. Artinya, tidak ada seorangpun yang dihukum kecuali ia telah berbuat salah.
Pertanggung Jawaban Pidana
Menurut Hanafi
sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali mengatakan
bahwa Dalam hukum konsep libility atau
“pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran
kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak
mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam
Bahasa Ingris, doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guality (sich!), unless the mind is
legally blameworthy. Di dalam doktrin itu, terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang
terlarang/tindak pidana (actus reus)dan
ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).
Mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi, Mardjono dalam catatan kaki (nya), di buku
“Tindak Pidana Korporasi dan
Pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia”
menjelaskan bahwa :
“Dalam
perkembangan pendidikan ilmu hukum pidana di Indonesia terdapat dua aliran.
Yang pertama berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana (unsur subyektif,
terdapat pada pelaku) melekat pada perbuatan melawan hukumnya (unsur obyektif),
sedangkan yang kedua memisahkannya. Di Indonesia aliran pertama (monistis)
dianut Prof. Satochid Kartanegara, Guru Besar Hukum Pidana di UI, PTIK, dan
PTHM. Aliran kedua (dualistis) ini dijelaskan dalam Muladi dan Dwidja
Priyatno”.
Masalah
pertanggungjawaban pelaku tindak pidana menjadi sorotan para pakar terutama
dalam menerapkan asas kesalahan. Mengenai hal ini dapat dilihat dari pendapat Hans Kelsen, sebagai berikut :
“… jika
dimungkinkan untuk menuduhkan suatu tindakan fisik yang dilakukan oleh seorang
manusia kepada badan hukum walau badan hukum itu tidak mempunyai fisik, maka
mesti dimungkinkan untuk menuduhkan tindakan-tindakan fisik kepada badan hukum
itu tidak mempunyai jiwa. Jika hukum memberikan sanksi pidana terhadap badan hukum
hanya dibawah kondisi bahwa organnya telah bertindak dengan sengaja dan dengan
itikad jahat, maka sangat mungkin untuk menyatakan bahwa badan hukum mesti
mempunyai perasaan bersalah untuk dapat dihukum. Tuduhan kepada badan hukum
adalah suatu konstruksi hukum, buka deskripsi tentang realitas alami. Karena
itu tidak perlu usaha sia-sia untuk membuktikan bahwa badan hukum adalah
makhluk nyata, yakni buka suatu fiksi hukum, untuk membuktikan bahwa delik dan
khususnya kejahatan dapat dituduhkan kepada badan hukum”.
Berbicara
masalah pertanggungjawaban pidana, ternyata terdapat dua pandangan, yaitu
pandangan yang monistis antara lain dikemukan oleh Simon yang merumuskan
strafbaar feit sebagai “Eene strafbaar
gestelde, onrechmatige, met schuld in verband staande handeling van een
torekeningvatbaar person” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan
hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan
orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya). Menurut aliran monism,
unsur-unsur strafbaar feit itu
meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur
pembuat, yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya
unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit, adalah sama dengan
syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau
terjadi strafbaar feit, maka pasti
pelakunya dapat dipidana.
Oleh karena
itu, penganut pandangan monistis tentang strafbaar
feit atau criminal act berpendapat,
bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang
meliputi :
a. Kemampuan bertanggung jawab.
b. Kesalahan dalam arti luas,
sengaja dan/atau kealpaan.
c. Tidak ada alasan pemaaf.
Sementara
pandangan dualistis pertamakali dianut oleh Herman Kontorowicz dimana beliau menentang kebenaran pendirian
mengenai kesalahan (schuld) yang
ketika itu berkuasa, yang beliau dinamakan “objective
schuld”, oleh karena kesalahan disitu dinamakan “objective schuld”, oleh karena kesalahan disitu dipandang sebagai
sifat dari kelakuan (merkmal der
handlung). Untuk adanya strafvoraussetzungen
(syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu
pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan
pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld
atau kesalahan subjektif pembuat.
Pertanggungjawaban Pidana
Di samping
unsur perbuatannya, maka unsur yang mutlak harus ada yang akan bisa
mengakibatkan dimintakannya pertanggungjawaban pidana dari si pelaku tindak
pidana adalah unsur kesalahan. Untuk bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana,
maka unsur kesalahan, yang mutlak ditemukan itu, sangat terkait dengan elemen
mental dari pembuatnya, yang dalam dogma sistem common law dinamakan mens
rea, di mana unsur kesalahan ini harus ada bersamaan dengan perbuatan
seseorang dalam melakukan tindak pidananya, yang disebut actus reus.
Pertanggungjawaban
atas tindak pidana yang dilakukan oleh sesorang itu adalah untuk menentukan
kesalahan dari tindak pidana yang dilakukannya. Pertangungjawaban pidana atau criminal liability
artinya adalah bahwa orang yang telah melakukan suatu tindak pidana itu,
belum berarti ia harus dipidana, melainkan ia harus mempertanggungjawabkan atas
perbuatannya yang telah dilakukan, jika ditemukan unsur kesalahan padanya, karena
suatu tindak pidana itu terdiri atas dua unsur, a criminal act (actus reus)
dan a criminal intent (mens rea).
Actus reus
atau quilty act dan mens rea atau quilty mind ini harus ada untuk bisa dimintakannya
pertanggungjawaban pidana. Kedua unsur itu, actus
reus dan mens rea, atau yang
disebut juga conduct elements dan fault elements tersebut, harus dipenuhi
untuk menuntut adanya tanggung jawab pidana. Pertanggungjawaban
pidana itu hanya dapat terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan suatu tindak
pidana.
tidak akan ada pertanggungjawaban pidana, jika tidak didahului dengan
dilakukannya suatu tindak pidana. Dengan demikian, tindak pidana itu dipisahkan
dari pertanggungjawaban pidana, atau dipisahkan dari unsur kesalahan.
Pengecualian prinsip actus reus dan mens rea ini adalah hanya pada
delik-delik yang bersifat strict
liability, di mana pada tindak pidana yang demikian itu adanya unsur
kesalahan atau mens rea tidak perlu
dibuktikan.
Menurut Raplh
C. Hoeber, et al., untuk bisa
dipertanggungjawabkan secara pidana kepada seseorang atas suatu delik, harus
dipenuhi tiga unsur sebagai berikut :
1. A
socially blameworthy act. To constitute a crime somthing must be done which the
law forbids. Or there must be a failure to do something the law requires. A
criminal act must be some physical act or breach of legal duty.
(Tindakan yang bisa disalahkan secara sosial. Untuk
membentuk suatu kejahatan harus dilakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum.
Atau harus ada kegagalan untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh hukum.
Tindak pidana harus berupa tindakan fisik atau pelanggaran kewajiban hukum).
2. Committed
by a mentally competent person. To be guilty of a crime a person must have the
mental capacity (i) to understand the nature of his or her act, and (ii) to
understand that the act is wrongful.
(Dilakukan oleh orang yang kompeten secara mental.
Untuk menjadi bersalah atas kejahatan seseorang harus memiliki kapasitas mental
(i) untuk memahami sifat tindakannya, dan (ii) untuk memahami bahwa tindakan
itu salah).
3. With
the requisite intent. To establish that an offense has been committed, it must
be proved that in the act (or omission) the perpetrator had an evil purpose or
blameworthy or person endangering state of mind, identified by such worth as
‘knowingly’, ‘wrongfully’, ‘corruply’, willfully’, ‘fraudulently’,
‘maliciously’, ‘feloniously’, ‘negligently’, or ‘wantonly’.
(Dengan niat yang
disyaratkan. Untuk menetapkan bahwa suatu pelanggaran telah dilakukan, harus
dibuktikan bahwa dalam tindakan (atau kelalaian) pelaku memiliki tujuan jahat
atau tercela atau orang yang membahayakan keadaan pikiran, diidentifikasi
dengan nilai seperti 'diketahui', 'salah', ' rusak ', disengaja', 'curang',
'jahat', 'jahat', 'lalai', atau 'ceroboh'.)
Dengan demikian, dalam hal pertanggungjawaban pidana ini,
maka seseorang hanya dapat dibebani tanggung jawab pidana bukan hanya
dikarenakan dia telah melakukan suatu perbuatan
yang dilarang atau melanggar kewajiban yang dipersyaratkan oleh
undang-undang, yang harus dibuktikan oleh penuntut umum di muka persidangan,
akan tetapi juga bahwa saat perbuatan itu dilakukan, pelakunya harus memiliki mens reaatau sikap kalbu.
Hal ini merupakan salah satu ciri dari hampir semua sistem hukum, di mana
pertanggung jawab pelaku terhadap tindak pidana yang telah dilakukannya selalu
dikaitan pada keadaan-keadaan tertentu dari mentalnya.
Actus reus atau guilty act menurut Black’s Law Ditionary
adalah :
“The wrongfull deed that comprises the physical
components of a crime and that generally must be couple with mens rea to
establish criminal liability; a forbidden act.”
Adapun mens rea atau gualty mind diartikan oleh Black
DEFENISI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Van Hamel tidak
memberikan definisi pertanggungjawaban pidana, melainkan memberikan pengertian
mengenai pertanggungjawaban. Secara lengkap Van Hamel menyatakan :
“Toekeningsvatbaarheid..... een staat van
psyhische normaliteit en rijpheid welke drieergeschiktheid medebrengt : 1) die
om feitelijke streking der eigen handelingen te begrijpen; 2) die om het
maatshappelijk ongeoorloofde van die handelingen te beseffen; 3)
maatschappelijk ongeoorloofde van die handelingen te beseffen; 3) die om te
annzien van die handelingen den wil bepalen.
(Pertanggungjawaban
adalah suatu tindakan normal psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam
kemampuan, yaitu : 1) mampu untuk dapat mengerti makna serta akibat
sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri; 2) mampu untuk menginsafkan
bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat; 3)
mampu untuk menentukan kehendak berbuat)
Eddy
O.S. Hiariej mengatakan Perlu penjelasan
lebih lanjut terkait tiga kemampuan Van
Hamel adalah perihal kehendak berbuat. Bila dikaitkan antara kehendak
berbuat dengan kesalahan sebagai elemen terpenting dari pertanggungjawaban,
maka terdapat tiga pendapat. Pertama, identitas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas
dalam bertindak. Bila tidak ada kebebasan kehendak, maka tidak ada kesalahan.
Dengan demikian tidak ada pencelaan sehingga tidak ada pemidanaan.
Kedua, determinis yang menyatakan bahwa manusia tidak punya
kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dan motif
yang mendapat ransangan dari dalam maupun dari luar. Artinya, seseorang tidak
dapat dinyatakan bersalah karena tidak punya kehendak bebas. Kendatipun
demikian, tidak berarti bahwa yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tidak adanya kebebasan kehendak
tersebut justru menimbulkan pertanggungjawaban seseorang atas pebuatannya.
Namun, reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan berupa tindakan untuk
ketertiban masyarakat dan bukan pidana dalam arti penderitaan. Ketiga,
pendapat yang menyatakan bahwa kesalahan tidak ada kaitannya dengan kehendak bebas.
Tegasnya, kebebasan kehendak merupakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan
kesalahan dalam hukum pidana.
Definisi mengenai
pertanggungjawaban pidana dikemukakan oleh Simons
sebagai suatu keadaan psikis, sehingga penerapan suatu ketentuan pidana dari
sudut pandang umum dan pribadi dianggap patut (De toerekeningsvatbaarheid kan worden
opgevat als eene zoodanige psyhische gesteldheid, waarbij detoepassing van een strafmaatregel
van algemeen en individueel standpunt gerechtvaardig is).
. Rinto Wardana, Tanggung Jawab Pidana Kontraktor atas kegagalan Bangunan “ Menerobos
dominasi Maxim Societas/Universitas Delinquere non Potest, diterbitkan oleh
Media Nusantara, cetakan I, November 2016, halaman 35.
. Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada
Tindak Pidana Korupsi, cetakan ke-1, April 2015, Penerbit PT. Kharisma Putra
Utama.
. G.A. Van
Hamel, 1913, Inleing Tot De Van Het Nederlansche Strafrecht, Derde Druk, De
Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante’s-Gravenhage. Hlm 387. Dalam Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 155.
. D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafecht, Eerste Deel, Zesde
Druk, P. Noordhoof, N.V.-Groningen-Batavia. Hlm 194. Dalam Eddy
O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum
Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 156.