Unsur-Unsur Tindak Pidana[1]
Buku II dan Buku III KUHP berisi tentang rumusan tindak
pidana–tindak pidana tertentu. Tentang bagaimana cara pembentuk undang-undang
dalam merumuskan tindak pidana itu pada kenyataannya memang tidak seragam.
Dalam hal ini akan dilihat dari tiga dasar pembedaan cara
dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP kita.
1. Cara
Pencantuman Unsur-unsur dan Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut
ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada tiga cara perumumusan, yaitu
:
a. dengan mencamtumkan semua unsur pokok,
kualifikasi dan ancaman pidana;
b. dengan mencamtumkan semua unsur pokok tanpa
kualifikasi dan mencamtumkan ancaman pidana;
c. sekadar mencamtumkan kualifikasinya saja
tanpa unsur-unsur dan mencamtumkan ancaman pidana.
Tampak yang sebenarnya bahwa
dari ketiga cara tersebut, ada tindak pidana yang dirumuskan tanpa menyebut
unsur-unsur dan banyak yang tidak menyebut kualifikasi. Ancaman pidana selalu
disebut dalam rumusan. Ancaman pidana dan kualifikasi memang bukan unsur tindak
pidana. Kualifikasi dicantumkan sekadar untuk menggampangkan penyebutan
terhadap pengertian tindak pidana yang dimaksudkan. Sementara itu, mengenai
selalu dicantumkannya ancaman pidana dalam rumusan karena ancaman pidana ini
merupakan ciri mutlak dari suatu larangan perbuatan sebagai tindak pidana dan
yang membedakan dengan larangan perbuatan yang bukan tindak pidana atau diluar
hukum pidana.
a. Mencamtumkan
Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaman Pidana
Cara yang pertama ini merupakan
cara yang paling sempurna. Cara ini digunakan terutama dalam hal merumuskan
tindak pidana dalam bentuk pokok/standar, dengan mencamtumkan unsur-unsur
objektif maupun unsur subjektif, misalnya Pasal 338 (pembunuhan), 362 (pencurian),
368 (pengancaman), 369 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406
(perusakan).
Dalam hal tindak pidana yang
tidak masuk dalam kelompok bentuk standar di atas, juga ada tindak pidana
lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian dengan kualifikasi tertentu.
Misalnya pemberontakan (108).
Unsur pokok atau unsur esensial
adalah unsur yang membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu itu.
Unsur-unsur ini dapat dirinci sejak jelas, dan untuk menyatakan seseorang
bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan menjatuhkan pidana, semua unsur
itu harus dibuktikan dalam persidangan.
Dalam unsur pokok tindak pidana
tersebut di atas terdapat unsur objektif maupun subjektif secara lengkap,
contohnya Pasal 368 yang diberi kualifikasi pemerasan, terdapat unsur-unsur
sebagai berikut.
1) Unsur Objektif, terdiri :
a) memaksa (tingkah laku);
b) seseorang (yang dipaksa);
c) dengan : (1) kekerasan
(2) ancaman kekerasan;
d) agar orang : (1) menyerahkan benda.
(2) memberi
utang;
(3)
menghapuskan piutang.
2) Unsur Subjektif, berupa :
e) dengan maksud untuk menguntungkan :
(1) diri sendiri, atau
(2) orang lain.
f) dengan melawan hukum
Kekerasan dan ancaman kekerasan
adalah cara atau upaya dalam melakukan perbuatan memaksa. Sementara itu, (a) menyerahkan
benda; (b) memberi utang; dan (c) menghapus piutang unsur akibat (akibat
konstitutif) yang dituju perbuatan atau yang diinginkan petindak, yang harus
terwujud untuk terjadinya pemerasan secara sempurna.
b. Mencamtumkan
Semua Unsur Pokok Tanpa Kualifikasi dan Mencamtumkan Ancaman Pidana
Cara inilah
yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak
pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualifikasi dalam
praktik kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu,
misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 diberi kualifikasi sumpah palsu,
stellionaat (385), penghasutan (160),
laporan palsu (220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan
oleh pegawai negeri (415).
[1]. Adami Chazawi, 2014, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Stelsel
Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum
Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan Ke-8, Jakarta, halaman 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar