Minggu, 02 Agustus 2020

Pertanggungjawaban Pidana

W.P.J. Pompe mengatakan "....bahwa tidak ada pidana yang diterapkan, kecuali suatu kelakuan yang melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicela. Menurut hukum kita tidak ada kesalahan tanpa melawan hukum, teori ini kemudian diformulasikan sebagai : tiada pidana tanpa kesalahan atau geen straf zonder schuld (Jerman) atau actus reus mens rea (Latin). Asas ini merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana dan tidak ditemukan dalam undang-undang. Ada postulat lain yang berbunyi nemo punitur sine injuria, facto, seu defalta. Artinya, tidak ada seorangpun yang dihukum kecuali ia telah berbuat salah.  

Pertanggung Jawaban Pidana[1]

Menurut Hanafi sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali mengatakan bahwa Dalam hukum konsep libility atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam Bahasa Ingris, doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guality (sich!), unless the mind is legally blameworthy. Di dalam doktrin itu, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/tindak pidana (actus reus)dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).[2] 

Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, Mardjono dalam catatan kaki (nya), di buku “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia” menjelaskan bahwa :

“Dalam perkembangan pendidikan ilmu hukum pidana di Indonesia terdapat dua aliran. Yang pertama berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana (unsur subyektif, terdapat pada pelaku) melekat pada perbuatan melawan hukumnya (unsur obyektif), sedangkan yang kedua memisahkannya. Di Indonesia aliran pertama (monistis) dianut Prof. Satochid Kartanegara, Guru Besar Hukum Pidana di UI, PTIK, dan PTHM. Aliran kedua (dualistis) ini dijelaskan dalam Muladi dan Dwidja Priyatno”.[3]

Masalah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana menjadi sorotan para pakar terutama dalam menerapkan asas kesalahan. Mengenai hal ini dapat dilihat dari pendapat Hans Kelsen, sebagai berikut :

“… jika dimungkinkan untuk menuduhkan suatu tindakan fisik yang dilakukan oleh seorang manusia kepada badan hukum walau badan hukum itu tidak mempunyai fisik, maka mesti dimungkinkan untuk menuduhkan tindakan-tindakan fisik kepada badan hukum itu tidak mempunyai jiwa. Jika hukum memberikan sanksi pidana terhadap badan hukum hanya dibawah kondisi bahwa organnya telah bertindak dengan sengaja dan dengan itikad jahat, maka sangat mungkin untuk menyatakan bahwa badan hukum mesti mempunyai perasaan bersalah untuk dapat dihukum. Tuduhan kepada badan hukum adalah suatu konstruksi hukum, buka deskripsi tentang realitas alami. Karena itu tidak perlu usaha sia-sia untuk membuktikan bahwa badan hukum adalah makhluk nyata, yakni buka suatu fiksi hukum, untuk membuktikan bahwa delik dan khususnya kejahatan dapat dituduhkan kepada badan hukum”.[4]  

Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana, ternyata terdapat dua pandangan, yaitu pandangan yang monistis antara lain dikemukan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai “Eene strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar person” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya). Menurut aliran monism, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat, yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit, adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.[5]

Oleh karena itu, penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi :

a.   Kemampuan bertanggung jawab.

b.   Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan.

c.   Tidak ada alasan pemaaf.[6]

Sementara pandangan dualistis pertamakali dianut oleh Herman Kontorowicz dimana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang ketika itu berkuasa, yang beliau dinamakan “objective schuld”, oleh karena kesalahan disitu dinamakan “objective schuld”, oleh karena kesalahan disitu dipandang sebagai sifat dari kelakuan (merkmal der handlung). Untuk adanya strafvoraussetzungen (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.[7]

Pertanggungjawaban Pidana[8]

Di samping unsur perbuatannya, maka unsur yang mutlak harus ada yang akan bisa mengakibatkan dimintakannya pertanggungjawaban pidana dari si pelaku tindak pidana adalah unsur kesalahan. Untuk bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana, maka unsur kesalahan, yang mutlak ditemukan itu, sangat terkait dengan elemen mental dari pembuatnya, yang dalam dogma sistem common law dinamakan mens rea, di mana unsur kesalahan ini harus ada bersamaan dengan perbuatan seseorang dalam melakukan tindak pidananya, yang disebut actus reus.[9]

Pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh sesorang itu adalah untuk menentukan kesalahan dari tindak pidana yang dilakukannya. Pertangungjawaban pidana atau criminal liability[10] artinya adalah bahwa orang yang telah melakukan suatu tindak pidana itu, belum berarti ia harus dipidana, melainkan ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah dilakukan, jika ditemukan unsur kesalahan padanya,[11] karena suatu tindak pidana itu terdiri atas dua unsur, a criminal act (actus reus) dan a criminal intent (mens rea).[12]

Actus reus atau quilty act dan mens rea atau quilty mind ini harus ada untuk bisa dimintakannya pertanggungjawaban pidana. Kedua unsur itu, actus reus dan mens rea, atau yang disebut juga conduct elements dan fault elements tersebut, harus dipenuhi untuk menuntut adanya tanggung jawab pidana.[13]  Pertanggungjawaban pidana itu hanya dapat terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan suatu tindak pidana. [14] tidak akan ada pertanggungjawaban pidana, jika tidak didahului dengan dilakukannya suatu tindak pidana. Dengan demikian, tindak pidana itu dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana, atau dipisahkan dari unsur kesalahan.[15] Pengecualian prinsip actus reus dan mens rea ini adalah hanya pada delik-delik yang bersifat strict liability, di mana pada tindak pidana yang demikian itu adanya unsur kesalahan atau mens rea tidak perlu dibuktikan.[16]

Menurut Raplh C. Hoeber, et al., untuk bisa dipertanggungjawabkan secara pidana kepada seseorang atas suatu delik, harus dipenuhi tiga unsur sebagai berikut :

1.    A socially blameworthy act. To constitute a crime somthing must be done which the law forbids. Or there must be a failure to do something the law requires. A criminal act must be some physical act or breach of legal duty.

(Tindakan yang bisa disalahkan secara sosial. Untuk membentuk suatu kejahatan harus dilakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum. Atau harus ada kegagalan untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh hukum. Tindak pidana harus berupa tindakan fisik atau pelanggaran kewajiban hukum). 

2.    Committed by a mentally competent person. To be guilty of a crime a person must have the mental capacity (i) to understand the nature of his or her act, and (ii) to understand that the act is wrongful.

(Dilakukan oleh orang yang kompeten secara mental. Untuk menjadi bersalah atas kejahatan seseorang harus memiliki kapasitas mental (i) untuk memahami sifat tindakannya, dan (ii) untuk memahami bahwa tindakan itu salah).

3.    With the requisite intent. To establish that an offense has been committed, it must be proved that in the act (or omission) the perpetrator had an evil purpose or blameworthy or person endangering state of mind, identified by such worth as ‘knowingly’, ‘wrongfully’, ‘corruply’, willfully’, ‘fraudulently’, ‘maliciously’, ‘feloniously’, ‘negligently’, or ‘wantonly’. 

(Dengan niat yang disyaratkan. Untuk menetapkan bahwa suatu pelanggaran telah dilakukan, harus dibuktikan bahwa dalam tindakan (atau kelalaian) pelaku memiliki tujuan jahat atau tercela atau orang yang membahayakan keadaan pikiran, diidentifikasi dengan nilai seperti 'diketahui', 'salah', ' rusak ', disengaja', 'curang', 'jahat', 'jahat', 'lalai', atau 'ceroboh'.)

 

Dengan demikian, dalam hal pertanggungjawaban pidana ini, maka seseorang hanya dapat dibebani tanggung jawab pidana bukan hanya dikarenakan dia telah melakukan suatu perbuatan  yang dilarang atau melanggar kewajiban yang dipersyaratkan oleh undang-undang, yang harus dibuktikan oleh penuntut umum di muka persidangan, akan tetapi juga bahwa saat perbuatan itu dilakukan, pelakunya harus memiliki mens rea[17]atau sikap kalbu.[18] Hal ini merupakan salah satu ciri dari hampir semua sistem hukum, di mana pertanggung jawab pelaku terhadap tindak pidana yang telah dilakukannya selalu dikaitan pada keadaan-keadaan tertentu dari mentalnya.[19]

 

Actus reus atau guilty act menurut Black’s Law Ditionary adalah :[20]

“The wrongfull deed that comprises the physical components of a crime and that generally must be couple with mens rea to establish criminal liability; a forbidden act.”

Adapun mens rea atau gualty mind diartikan oleh Black

 

DEFENISI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA[21]

Van Hamel tidak memberikan definisi pertanggungjawaban pidana, melainkan memberikan pengertian mengenai pertanggungjawaban. Secara lengkap Van Hamel menyatakan :

Toekeningsvatbaarheid..... een staat van psyhische normaliteit en rijpheid welke drieergeschiktheid medebrengt : 1) die om feitelijke streking der eigen handelingen te begrijpen; 2) die om het maatshappelijk ongeoorloofde van die handelingen te beseffen; 3) maatschappelijk ongeoorloofde van die handelingen te beseffen; 3) die om te annzien van die handelingen den wil bepalen.[22]

(Pertanggungjawaban adalah suatu tindakan normal psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan, yaitu : 1) mampu untuk dapat mengerti makna serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri; 2) mampu untuk menginsafkan bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat; 3) mampu untuk menentukan kehendak berbuat)

Eddy O.S. Hiariej mengatakan Perlu penjelasan lebih lanjut terkait tiga kemampuan Van Hamel adalah perihal kehendak berbuat. Bila dikaitkan antara kehendak berbuat dengan kesalahan sebagai elemen terpenting dari pertanggungjawaban, maka terdapat tiga pendapat. Pertama, identitas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dalam bertindak. Bila tidak ada kebebasan kehendak, maka tidak ada kesalahan. Dengan demikian tidak ada pencelaan sehingga tidak ada pemidanaan.[23]

Kedua, determinis yang menyatakan bahwa manusia tidak punya kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dan motif yang mendapat ransangan dari dalam maupun dari luar. Artinya, seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah karena tidak punya kehendak bebas. Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tidak adanya kebebasan kehendak tersebut justru menimbulkan pertanggungjawaban seseorang atas pebuatannya. Namun, reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan berupa tindakan untuk ketertiban masyarakat dan bukan pidana dalam arti penderitaan. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa kesalahan tidak ada kaitannya dengan kehendak bebas. Tegasnya, kebebasan kehendak merupakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kesalahan dalam hukum pidana.[24]

Definisi mengenai pertanggungjawaban pidana dikemukakan oleh Simons sebagai suatu keadaan psikis, sehingga penerapan suatu ketentuan pidana dari sudut pandang umum dan pribadi dianggap patut (De toerekeningsvatbaarheid kan worden opgevat als eene zoodanige psyhische gesteldheid, waarbij detoepassing van een strafmaatregel van algemeen en individueel standpunt gerechtvaardig is)[25].

 



[1].  Rinto Wardana, Tanggung Jawab Pidana Kontraktor atas kegagalan Bangunan “ Menerobos dominasi Maxim Societas/Universitas Delinquere non Potest, diterbitkan oleh Media Nusantara, cetakan I, November 2016, halaman 35.

[2]. Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 3

[3]. Mardjono, Tindak Pidana Korporasi dan pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia, Jakarta, : Pidato Dies Natalis ke-47 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 17 Juni 1983.                              

[4]. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Diterjemahkan oleh : Raisul Muttaqien, Bandung, Nusamedia, 2014, hlm 77. 

[5]. Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana, 2012, hlm 63.

[6]. A.Z Abidin dalam Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana, 2012, hlm 63. 

[7]. Ibid.,hlm 66.

[8]. Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, cetakan ke-1, April 2015, Penerbit PT. Kharisma Putra Utama.

 

[9]. Zoltan Andras Nagy.

[10]. R.A. Duff  

[11]. Suharto R.M., Hukum Pidana Material; Unsur-Unsur Obyektif sebagai Dasar Dakwaan, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm 106.

[12]. Lihat juga Robert W. Emerson

[13].  Robert R.A. Duff

[14]. Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Kencana, 2006, hlm 20.

[15]. Moeljatno

[16]. Lihat Roger Geary,

[17]. Lihat Paul Dobson

[18]. Sutan Remi Sjahdenini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta; Grafiti Pers, 2006) hlm 37.

[19]. Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982), hlm 20.  

[20]. Bryan A. Garner

[21].  Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 155.

[22]. G.A. Van Hamel, 1913, Inleing Tot De Van Het Nederlansche Strafrecht, Derde Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante’s-Gravenhage. Hlm 387. Dalam  Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 155.

 [23].  Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 155.

[24]. Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.hlm 87dalam  Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 156.

 [25]. D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafecht, Eerste Deel, Zesde Druk, P. Noordhoof, N.V.-Groningen-Batavia. Hlm 194. Dalam Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, edisi revisi 2016, Cahaya Atma Pustaka. Hlm 156.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sesuatu baru bisa disebut Fakta

  JOSEPH RAZ Menyampaikan : Facts are everything that can be designated by what followa after “the fact that...’. Sesuatu baru bisa di...