Jumat, 25 Desember 2020

Kasus Pemerkosaan Anak 19 Tahun Lalu

 Secara hukum, pemerkosaan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur dapat dijerat dengan Pasal 76 D dan Pasal 81 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh UU No 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Th 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perpu 1/2016”) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan UU No 17 Th 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang yang berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 76D UU 35/2014:

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

 

Hukuman dari perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 Perpu 1/2016 sebagai berikut:

Pasal 81 Perpu 1/2016:

1.        Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.

2.        Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannyaatau dengan orang lain.

3.        Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4.        Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.

5.        Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

6.        Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

7.        Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

8.        Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

9.        Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.

 

Dalam kasus pemerkosaan anak yang peristiwa pemerkosaan baru terungkap setelah korban berumur 19 tahun. Terkait dengan daluwarsa pengajuan penuntutan, jika kita melihat pada ketentuan Pasal 78 ayat (1) butir 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), atas tindakan tersebut tidak dapat dilakukan upaya penuntutan pidana. Pasal tersebut berbunyi:

 

1.      Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:

a.      mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;

b.      mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;

c.       mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;

d.     mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.

2.      Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.

 

Oleh karena itu, atas tindakan pemerkosaan anak yang diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, daluwarsa penuntutan pidananya adalah sesudah 12 (dua belas) tahun.

 

Dengan demikian, atas perhitungan masa daluwarsa atas kejadian tersebut di mana korban pada waktu diperkosa berusia 6 tahun, ditambahkan dengan masa daluwarsa 12 tahun maka 6 tahun + 12 tahun = 18 tahun. Jadi, masa penuntutan hukum atas pelaku pemerkosaan terbatas hingga anak (korban) tersebut berusia 18 tahun. Jika anak telah mencapai usia 19 tahun, maka upaya penuntutan pidananya menjadi hapus atau tidak dapat dilakukan penuntutan.

 

Informasi selengkapnya mengenai daluwarsa tindak pidana pemerkosaan silakan Anda simak artikel Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan.

 

Pencemaran Nama Baik

Jika kemudian seseorang yang dianggap pelaku ingin melaporkan pihak yang merasa menjadi korban dengan dasar pencemaran nama baik dapat saja dilakukan. Pencemaran nama baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP yang berbunyi:

 

a.      Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

b.      Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

c.       Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

 

Melihat dari ketentuan tersebut di atas, maka laporan atas pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan jika orang yang dituduh merasa kehormatan atau nama baiknya diserang. Mengenai dapat atau tidaknya dipidana hal tersebut tergantung pembuktian di pengadilan.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

 

Rabu, 16 Desember 2020

LAPORAN POLISI DAN PENYELIDIKAN

 

Pasal 3 Perkap No. 6 Tahun 2009 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

(1)     Penyelidik berwenang menerima laporan/pengaduan baik secara tertulis, lisan maupun menggunakan media elektronik tentang adanya tindak pidana.

(2)     Laporan/pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterima di :

a.    Satker pengemban fungsi Penyidikan pada tingkat Mabes Polri; atau

b.    SPKT/SPK pada tingkat Polda/Polres/Polsek.

(3)     Pada SPKT/SPK yang menerima laporan/pengaduan, ditempatkan Penyidik/Penyidik Pembantu yang ditugasi untuk: a. menjamin kelancaran dan kecepatan pembuatan laporan polisi; b. melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi; dan c. memberikan pelayanan yang optimal bagi warga masyarakat yang melaporkan atau mengadu kepada Polri.

(4)     Setelah dilakukan kajian awal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dibuat :

a.    tanda penerimaan laporan; dan

b.    laporan polisi.

(5)     Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, terdiri atas :

a.    laporan polisi model A, yaitu laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi; dan

b.    laporan polisi model B, yaitu laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan yang diterima dari masyarakat.

(6)     Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diberi penomoran, sebagai Registrasi Administrasi penyidikan. 

(7)     Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), penanganannya dapat :

a.    dilimpahkan ke kesatuan setingkat/tingkat bawah; 

b.    diambil alih oleh satuan tingkat atas; dan

c.    dilimpahkan ke instansi lain. 

 

Pasal 4

(1)     Setelah laporan Polisi dibuat, Penyidik/Penyidik Pembantu yang bertugas di SPKT/SPK pada tingkat Polda/Polres/Polsek atau pejabat penerima laporan yang bertugas di Satker pengemban fungsi Penyidikan pada tingkat Mabes Polri, segera melakukan pemeriksaan terhadap pelapor dalam bentuk berita acara wawancara saksi pelapor.

(2)     Kepala SPKT/SPK atau pejabat penerima laporan pada tingkat Mabes Polri, meneruskan laporan Polisi dan berita acara wawancara saksi pelapor kepada :

a.       pejabat pengemban fungsi pembinaan operasional penyidikan untuk laporan yang diterima di Mabes Polri;

b.      Direktur Reserse Kriminal Polda untuk laporan yang diterima di SPKT Polda sesuai jenis perkara yang dilaporkan; 

c.       Kapolres/Wakapolres untuk laporan yang diterima di SPKT Polres; atau d. Kapolsek/Wakapolsek untuk laporan yang diterima di SPK Polsek.

(3)     Penerimaan Laporan Polisi pada Satker pengemban fungsi penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 



KEADLIAN RESTORATIF PADA TINGKAT PENYIDIKAN

Pasal 12 PERKAP NO. 6 TAHUN 2019 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN

Dalam proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila terpenuhi syarat :

a.       materiel, meliputi :

1.    tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;

2.    tidak berdampak konflik sosial;

3.    adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;

4.    prinsip pembatas :

a)    pada pelaku :

1)    tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan

2)    pelaku bukan residivis;

b)    pada tindak pidana dalam proses :

1)    penyelidikan; dan

2)    penyidikan, sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum;

 

b.       formil, meliputi :

1.    surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);

2.    surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;

3.    berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;

4.    rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan

5.    pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.

Sesuatu baru bisa disebut Fakta

  JOSEPH RAZ Menyampaikan : Facts are everything that can be designated by what followa after “the fact that...’. Sesuatu baru bisa di...